Kamis, 16 Januari 2014

PEMBINAAN KARAKTER ANAK SEJAK USIA DINI BERBASIS SASTRA ANAK



PEMBINAAN KARAKTER ANAK SEJAK USIA DINI BERBASIS SASTRA ANAK
1.        Pembinaan Karakter Siswa dengan Pengajaran Sastra
Kata kunci terpenting dalam prasaran ini adalah karakter – kata serapan dari bahasa Inggris, character, yang belum dibakukan oleh Pusat Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yang ada dalam KBBI hanya padanannya, yakni watak, yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah lakunya. Padanan dari watak, menurut KBBI, adalah budi pekerti dan tabiat. Kata karakter justru diakomodasi oleh  Leksikon Sastra Indonesia , dan dimaknai sebagai watak atau sifat-sifat kejiwaan (akhlak, budi pekerti, tabiat, etos) yang membedakan seseorang dengan orang lain.
Karakter atau watak seseorang, selain bawaan sejak  lahir (genetik), juga terbentuk oleh pendidikan, sejak pendidikan di dalam keluarga sampai di sekolah, serta pengaruh nilai-nilai yang beredar dalam masyarakat dan lingkungan yang menumbuhkannya. Karena tiap orang memiliki bawaan genetik yang berbeda, serta tumbuh dalam lingkungan pendidikan dan pergaulan yang relatif  berbeda, maka tumbuh pula karakter-karakter tertentu yang melekat pada sosok-sosok pribadi yang unik, sejak karakter yang lemah dan buruk (konsumtif, malas, gampang menyerah, kasar, suka menerabas, pembohong, khianat, dan korup) sampai karakter yang baik dan unggul (kreatif, rajin, pekerja keras, ulet, santun, jujur, amanah, adil, dan bertanggung jawab).

Selain karakter individu yang unik dan berbeda-beda itu, ada pula karakter kolektif yang dibangun oleh nilai-nilai yang bersifat universal seperti nilai-nilai agama, dan nilai-nilai yang menjadi semacam ”kesepakatan bersama” dalam hidup bermasyarakat dan diwariskan secara turun-temurun oleh para orang tua kepada yang lebih muda. Karakter kolektif ini menjadi semacam watak komunal suatu masyarakat atau bangsa. Misalnya, karakter masyarakat yang religius, serta karakter masyarakat yang santun, peduli dan suka bergotong-royong (solider).
Di tengah karakter kolektif itulah watak-watak individu berada dan saling berinteraksi serta saling mempengaruhi, baik antar individu maupun dengan karakter kolektif.  Jika karakter individu yang baik dan unggul dominan, dan kooperatif terhadap karakter koletif yang positif, maka akan terjadi harmoni yang dinamis di dalam masyarakat. Tetapi, ketika karakter individu yang buruk menang, dan abai terhadap karakter kolektif, maka akan terjadi disharmoni, pelanggaran terhadap nilai-nilai dan hukum, atau bahkan kekacauan nilai dan chaos.

Jika karakter individu yang buruk itu terbawa secara dominan ke dalam wilayah politik dan kekuasaan, maka yang muncul adalah pemerintahan yang korup dan tidak amanah, merajalelanya mafia hukum dan pajak, serta penjungkirbalikan kebenaran yang menempatkan kepentingan kelompok dan kekuasaan sebagai segalanya. Ketika wibawa pemerintah pudar  karena tidak dapat bersikap tegas, dan apalagi terindikasi terlibat suatu kasus, maka kekacauan nilai akan semakin parah. Dan, jika suatu era sudah menunjukkan tanda-tanda sebagai ”zaman edan”   seperti pernah diramalkan oleh Ranggawarsita, maka suatu bangsa tinggal menunggu keterpurukannya. Semoga saja ini tidak terjadi pada bangsa Indonesia, meskipun maraknya berbagai kasus mafia hukum dan kekerasan politik dewasa ini sudah menunjukkan tanda-tanda zaman gila.

2.        Membentuk karakter siswa
Siswa adalah generasi muda, generasi penerus, yang akan menjadi pemilik masa depan bangsa. Akan seperti apa wajah bangsa Indonesia di masa depan sangat tergantung pada bagaimana kita membentuk karakter siswa sejak sekarang. Ketika kita seperti kehilangan harapan pada para elit politik dan pemimpin bangsa (penguasa) saat ini, maka harapan kita tinggal bergantung pada para pemilik masa depan itu. Karena itu, membangun karakter siswa sejak sekarang menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru dan orang tua) yang amat penting. Pengajaran di sekolah, termasuk pengajaran sastra,  menjadi tumpuan yang sangat vital. Jika kita gagal membentuk karakter yang positif dan unggul pada diri siswa, bisa-bisa masa depan bangsa ini akan makin terpuruk, kehilangan harapan, atau setidaknya akan kehilangan kepribadian dan gampang dijajah serta ”diperbudak” oleh bangsa lain yang lebih adidaya.
Pengajaran sastra diyakini dapat membantu proses pembentukan karakter siswa, karena di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai positif, sejak nilai-nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Karena potensi nilainya itu kaum romantik meyakini bahwa karya sastra mengandung pesan kebenaran yang setara dengan kitab suci. Setidaknya, filosof Aristoteles menyejajarkan sastra, khususnya puisi, dengan filsafat (konsep tentang kebijaksanaan hidup). Bahkan dia menganggap sastra lebih filosofis dibanding sejarah. Sebab, sejarah hanya mentatat kejadian atau peristiwa terpenting yang kasat mata dan berpusat pada kekuasaan. Sedangkan sastra dapat mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa, termasuk tersembunyi di dalam batin manusia (para pelaku sejarah), sekaligus ”meramal” apa yang bakal terjadi di masa depan. Tentang potensi sastra itu, kaum pragmatik -- yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya  –  meyakini bahwa karya sastra memiliki potensi untuk  menjadi sumber nilai ataupun sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan kaum terpelajar. Kalangan pragmatik  berkeyanikan  bahwa karya sastra memang dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan tiap pembacanya.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama. Bahkan, ada pendapat bahwa para novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karena, novelis mampu mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokoh novelnya sampai sedetil dan sedalam-dalamnya, termasuk kearifan sikap dan pemikirannya. Dengan begitu, karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri (batin) pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu sumber inspirasi, pencerahan, sekaligus agen perubahan sosial. Di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca dan mengapresiasi karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar dalam ikut membawa bangsanya ke arah keadaan sosial, politik, dan budaya, yang lebih baik. Jika disarikan dan disederhanakan, maka karya sastra setidaknya memiliki 10 fungsi bagi kehidupan. Pertama, fungsi cultural, karena karya sastra dapat menjadi media pewarisan nilai-nilai dan kekayaan budaya masyarakat sekaligus meninggikan harkat kebudayaan suatu bangsa. Kedua, fungsi estetis karena karya satra memiliki unsur-unsur dan nilai-nilai keindahan yang dapat meningkatkan rasa keindahan (sence of aesthetic) pembacanya. Ketiga, fungsi didaktis karena karya sastra mengandung potensi yang bersifat mendidik dan mengandung unsur kebaikan serta kebenaran. Keempat, fungsi moralitas karena karya sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah.

Kelima, fungsi religius karena karya sastra mampu memberikan pesan-pesan religius kepada para pembacanya. Keenam,fungsi inspiratif,  karena karya sastra yang baik dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya untuk menghasilkan karya baru, pemikiran baru, dan bahkan mendorong proses perubahan.  Ketujuh,  fungsi psikologis, karena karya sastra dapat membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Karya sastra dapat menjadi media pelepasan atau katarsis. Kedelapan, fungsi humanis, karena karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan kepada pembacanya. Kesembilan, fungsi penyadaran dan pencerahan, karena karya sastra dapat menjadi media penyadaran dan pencerahan hati nurani dan intelektualitas pembacanya. Dan, kesepuluh, fungsi rekreatif, karena karya sastra mengandung unsur-unsur yang menyenangkan pembacanya. Dengan mewariskan fungsi-fungsi sastra itu kepada siswa melalui pengajaran sastra, maka pengajaran sastra akan ikut berperan dalam membentuk karakter  yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra.

3.        Karakteristik Anak Usia 4-6 Tahun
Pendidikan anak usia dini menurut UU no. 20 tahun 2003 adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pengertian ini  mengandung arti bahwa pendidikan merupakan bentuk kegiatan yang direncanakan dan diprogram dengan sedemikian rupa agar mampu mengembangkan semua aspek perkembangan anak. Hal ini mengacu pada dasar penelitian neorologis yang memaparkan potensi saraf untuk berkembang pada usia tersebut. Dengan demikian pendidikan karakter sejak dini merupakan salah satu upaya untuk memaksimalkan potensi anak. Dalam kaitannya dengan perkembangan anak, untuk merancang sebuah program, pendidik harus memahami terlebih dahulu potensi rata-rata yang dimiliki anak pada setiap aspek. Hal ini bertujuan untuk membuat program yang tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan anak. Dalam penelitian ini, pendidik mencoba merancang kegiatan bercerita dengan cerita-cerita rakyat untuk mengenalkan karakter pada anak usia dini. Perkembangan kognitif anak usia 4-6 tahun menurut Piaget (Jamaris: 2011: 37-38) masuk dalam tahap berpikir praoperasional konkrit. Pada usia ini anak masuk dalam tahap berpikir intuitif yaitu fase dimana anak memiliki banyak pengetahuan namun tidak tahu bagaimana anak mengetahui hal tersebut. Tahap ini mencirikan rasa ingin tahu anak sangatbesar terhadap sesuatu, banyak mengajukan pertanyaan, mampu untuk mengetahui alasan-alasan logis yang primitif, belum dapat memahami prinsip konservasi, dan anak belajar melalui contoh-contoh yang dilihat ketika bermain.

Perkembangan sosial anak usia taman kanak-kanak dalam Sujiono (2005: 81) yaitu kemampuan anak untuk bebas bicara pada diri sendiri, orang lain dan mainannya; berbicara lancar; bermain dalam kelompok; mulai menyenangi kisah seseorang/tokoh dalam film atau cerita. Penanaman nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat pada anak dilalui dalam proses sebagai berikut yaitu; 1) tahap imitasi, tahap peniruan anak terhadap tingkah laku atau sikap dan cara pandang orang dewasa (model); 2) tahap identifikasi, tahap menyamakan tingkah laku sosial orang yang berada di sekitarnya sesuai perannya kelak di masyarakat; 3) tahap internalisasi, tahap penanaman dan penyerapan nilai-nilai yang relatif menetap sehingga menjadi nilai yang tertanam dan menjadi milik orang tersebut. Perkembangan bahasa anak meliputi empat aspek pengembangan yaitu aspek mendengarkan/menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempat aspek ini berkembang berkelanjutan dengan pengertian bahwa aspek membaca dan menulis terbentuk dari kemampuan aspek menyimak dan berbicara lebih dahulu (bahasa oral).

Perkembangan moral anak oleh Kohlberg (Crain: 2007: 231-239) dibagi atas tiga tingkatan yaitu moralitas prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Moralitas prakonvensional terbagi atas 2 tahap yaitu tahap pertama, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman. Moralitas dari suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisik. Tahap kedua, anak menyesuaikan terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan. Moralitas konvensional dibangun atas dasar persesuaian dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan baik dengan orang lain. Tahap ini dibagi atas dua tahap yaitu tahap penyesuaian dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan baik dengan mereka. Tahap kedua, anak harus berbuat sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat diterima dan terhindar dri ketidaksetujuan sosial. Moralitas terakhir pascakonvensional yaitu moralitas yang sesungguhnya, tidak perlu disuruh merupakan kesadaran dari diri orang tersebut. Tahap ini pula terbagi atas dua tahap yaitu tahap dimana seseorang perlu keluwesan dan adanya modifikasi dan perubahan standar moral jika dapat menguntungkan kelompok secara keseluruhan. Tahap selanjutnya adalah tahap seseorang menyesuaikan diri dengan standar sosial dan cita-cita internal terutama untuk menghindarkan rasa tidak puas dengan diri sendiri.

4.        Pendidikan Karakter
Karakter dari bahasa yunani yang berart i “to mark”. Istilah ini fokus pada t indakan atau tingkah laku. Menurut Muslich (2011: 71) karakter memiliki dua pengertian yaitu menunjukkan bagaimana orang bertingkah laku dan berkaitan dengan personaliti. Berkaitandengan seorang yang bertingkah laku, jika seseorang bertingkah laku baik seperti suka menolong, jujur, menunjukkan karakter mulia dan ini berlaku pula sebaliknya. Karakter berkaitan dengan personaliti maksudnya adalah seseorang yang disebut berkarakter jika tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Menurut kamus besar bahasa Indonesia karakter terkait dengan watak. Watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; dan tabiat. Dengan demikian, karakter adalah bentuk tingkah laku yang ditunjukkan sesuai dengan kaidah moral dan budi pekerti.

Likona dalam Muslich (2011: 75) menekankan tiga komponen karakter yang baik dan harus ditanamkan sejak dini yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling(perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral). Tiga komponen ini sangat diperlukan untuk dapat memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebijakan. Hal ini menjawab kebutuhan bahwa pendidikan moral dalam pembelajaran tidak hanya diberikan dalam bentuk hafalan (kognitif), namun lebih pada pengembangan moral tersebut yang terinternalisasi dalam diri manusia. Hal ini sesuai pula dengan pengertian pendidikan karakter dalam PP No.58 yaitu pendidikan yang melibatkan penanaman pengetahuan,kecintaan dan penanaman perilaku kebaikan yang menjadi sebuah pola/kebiasaanBerdasarkan pengertian tersebut maka pendidikan karakter adalah pendidikan yangmembentuk tingkah laku seseorang agar sesuai dengan kaidah moral baik dalam segi kognitif, afektif dan psikomotor.

Pembentukan karakter pada anak usia dini dilakukan melalui pembiasaan. Adapun tujuannya adalah agar anak mempraktekkan langsung nilai-nilai tersebut dan terbiasa untuk melakukan hal-hal yang baik dengan harapan nilai tersebut dapat terinternalisasi dalam kehidupan anak. Penanaman nilai pendidikan karakter pada anak usia dini sesuai PP No.58 suplemen kurikulum mencakup empat aspek yaitu aspek spiritual, aspek personal, aspek sosial dan aspek lingkungan.

Disiplin adalah nilai yang berkaitan dengan ketertiban dan keteraturan. Contoh dari penanaman sikap disiplin yaitu membantu anak untuk mengatur waktu bermain, datang tepat waktu. Kejujuran adalah keadaan yang terkait dengan ketulusan dan kelurusan hati untuk berbuat benar. Adapun contoh penanaman nilai ini yaitu dapat ditanamkan pendidik pada anak dengan cara memberi fasilitas kotak khusus untuk temuan. Setiap anak yang menemukan sesuatu yang bukan miliknya dapat meletakkan barang tersebut dalam kotak temuan sehingga setiap teman yang merasa kehilangan dapat mencari barang yang hilang tersebut dalam kotak temuan. Jika di rumah nilai kejujuran dapat ditanamkan dengan meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita anak dan mempercayai cerita tersebut sebagai sebuah kebenaran sambil meyakinkan anak bahwa cerita tersebut memang benar.

Percaya diri adalah sikap yang menunjukkan bahwa anak mampu memahami diri dan nilai harga diri. Adapun contoh penanaman nilai ini yaitu dengan cara memberikan pujian atau penguatan tentang semua apa yang dimiliki oleh anak sehingga anak mampu menerima diri secara positif, misalnya, mengatakan kamu pasti bisa, kamu pintar sekali, coba lagi, wow…hasil karyamu luar biasa. Mandiri adalah perilaku yang tidak bergantung pada orang lain. Penanaman ini bertujuan untuk membiasakan anak menentukan, melakukan, memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bantuan atau dengan bantuan yang seperlunya. Adapun contoh penanaman nilai ini yaitu memberi anak kesempatan untuk mencoba mengerjakan sesuatu sendiri, misalnya memakai pakaian sendiri, makan sendiri, memakai sepatu sendiri, mengerjakan tugas sendiri.

Kreatif adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang belum pernah ada sebelumnya dengan menekankan kemampuan yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif.
Kerja keras adalah nilai yang berkaitan dengan perilaku pantang menyerah yaitu mengerjakan sesuatu hingga selesai dengan gembira. Rendah hati adalah mencerminkan kebesaran jiwa seseorang dan sikap tidak sombong dan bersedia untuk mengalami kehebatan orang lain.
Tolong menolong, kerjasama dan gotong royong adalah merupakan bentuk kemampuan sosialisasi dan kematangan emosi. Peduli lingkungan merupakan sikap merawat, menjaga dan respon terhadap lingkungan. Nilai ini dapat dikembangkan dengan membuang sampah pada tempatnya, merawat tanaman dan binatang, membersihkan pekarangan dan kelas, merapikan tempat mainan, memanfaatkan barang bekas sebagai media pembelajaran/ alat untuk bermain. Cinta tanah air dan bangsa merupakan sikap rela berkerban dan menghargai hasil buatan bangsa. Penanaman nilai ini dengan mengenalkan produk-produk Indonesia dalam berbagai bidang, mengenalkan cerita-cerita kepahlawanan, cerita rakyat, dan berbagai hasil seni dan budaya yang dimiliki bangsa, berkunjung ke beberapa tempat wisata bersejarah dan lain sebagainya.

5.        10 Fungsi Karya Sastra Bagi Kehidupan.
Pertama, fungsi cultural, karena karya sastra dapat menjadi media pewarisan nilai-nilai dan kekayaan budaya masyarakat sekaligus meninggikan harkat kebudayaan suatu bangsa.
Kedua, fungsi estetis karena karya satra memiliki unsur-unsur dan nilai-nilai keindahan yang dapat meningkatkan rasa keindahan (sence of aesthetic) pembacanya.
Ketiga, fungsi didaktis karena karya sastra mengandung potensi yang bersifat mendidik dan mengandung unsur kebaikan serta kebenaran.
Keempat, fungsi moralitas karena karya sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah.
Kelima, fungsi religius karena karya sastra mampu memberikan pesan-pesan religius kepada para pembacanya.
Keenam,fungsi inspiratif,  karena karya sastra yang baik dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya untuk menghasilkan karya baru, pemikiran baru, dan bahkan mendorong proses perubahan. 
Ketujuh,  fungsi psikologis, karena karya sastra dapat membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Karya sastra dapat menjadi media pelepasan atau katarsis.
Kedelapan, fungsi humanis, karena karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan kepada pembacanya.
Kesembilan, fungsi penyadaran dan pencerahan, karena karya sastra dapat menjadi media penyadaran dan pencerahan hati nurani dan intelektualitas pembacanya.
kesepuluh, fungsi rekreatif, karena karya sastra mengandung unsur-unsur yang menyenangkan pembacanya.
Dengan mewariskan fungsi-fungsi sastra itu kepada siswa melalui pengajaran sastra, maka pengajaran sastra akan ikut berperan dalam membentuk karakter  yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra.

6.        Membangun Sikap Apresiatif
Membangun sikap apresiatif siswa pada sastra pada dasarnya adalah membangun minat atau rasa cinta siswa pada karya sastra, dan inilah tujuan terpenting pengajaran sastra. Apresiasi --  berasal dari bahasa Inggris appreciation – adalah penghargaan yang didasarkan pada pemahaman.  Menurut Leksikon Sastra Indonesia,  apresiasi sastra adalah kemampuan untuk memahami dan menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra. Dengan demikian, di dalam kegiatan apresiasi sastra diperlukan kemampuan untuk menikmati, menilai, menghargai, dan mencintai karya sastra.
               
Apresiasi sastra akan berjalan baik jika didasari oleh minat yang tinggi pada karya sastra. Minat, menurut KBBI Daring , adalah kecenderungan hati yang tinggi atau gairah terhadap sesuatu. Maka, ‘minat pada sastra’ dapat diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi (gairah) pada sastra, yakni seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk menggauli sastra, baik mencipta maupun sekadar menikmatinya sebagai rekreasi batin. Seseorang yang meminati sastra akan merasa hampa jika dalam waktu tertentu tidak bersentuhan dengan sastra, dan karena itu ia akan selalu rindu untuk membaca karya sastra.
Sebaliknya, seseorang yang tidak meminati sastra, tidak akan terdorong untuk membaca, dan apalagi mencipta, karya sastra. Orang yang demikian, umumnya memiliki apresiasi sastra yang rendah, bahkan banyak yang tidak memiliki apresiasi sama sekali. Jika karakter yang demikian ada pada siswa, atau sebagian besar siswa, maka kita akan berhadapan dengan para siswa yang sulit untuk diajak mengapresiasi karya sastra, apalagi belajar menciptanya Rendahnya minat siswa pada sastra itulah sebenarnya tantangan utama pengajaran sastra di sekolah, tantangan yang pertama-tama dihadapi oleh guru sastra, selain hambatan kurikulum dan sistem pengajaran sastra, kurangnya buku-buku sastra di perpustakaan sekolah, rendahnya kualitas buku pelajaran sastra, dan rendahnya kualitas sang guru sendiri.

7.        Cara Mengajar Yang Konvensional Di Depan Kelas

Cara-Cara Sebagai Berikut Dapat Dipertimbangkan:
a)      Mengajak siswa ke luar kelas, ke taman atau kebun terdekat. Cara ini dapat dicoba untuk mengajar menulis puisi. Dalam belajar menulis puisi, para siswa dapat diperkenalkan dengan berbagai fenomena alam yang puitis, seperti gerak daun  jatuh, desir suara angin, bunga yang mekar, burung yang bermain-main di dahan, atau kepak sayap kupu-kupu yang berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga lainnya. Siswa diminta untk menuliskan fenomena alam itu dengan baris-baris kalimat yang puitis.

b)     Belajar di luar ruang juga dapat dipilih untuk mengajarkan menulis cerpen, misalnya ke kantin, taman, kebun, atau pinggir jalan. Siswa dapat diminta mengamati dan memilih satu potret kehidupan yang dilihatnya. Misalnya, seorang anak penyemir sepatu, lalu diminta membayangkan anak itu rajin bekerja untuk mengumpulkan uang guna pengobatan ibunya yang sakit di rumah. Nah, siswa diminta mengembangkan imajinasinya ini menjadi sebuah cerita pendek.

c)      Dalam mengajarkan apresiasi sastra, misalnya membahas puisi, cerpen atau novel, bias saja siswa diajak ke suatu tempat untuk mendiskusikannya secara santai dan terbuka. Untuk cerpen dan novel, tentu siswa perlu membacanya dulu di rumah. Jika ingin tetap di dalam kelas, tentu guru perlu menciptakan suasana diskusi yang menyenangkan dan membuat anak berani berbicara.

d)     Dalam mengajarkan membaca puisi, berbagai cara dapat dipilih. Misalnya, menayangkan dulu video penyair terkenal sedang membaca puisi, menghadirkan deklamator terkenal ke depan kelas, atau menyiasatinya dengan berbagai model penyajian puisi yang langsung melibatkan anak, seperti membaca puisi secara kolektif dan musikalisasi puisi, yang dapat membuat anak gembira.

e)      Setelah sesi-sesi di atas masing-masing dilalui, barulah siswa dikumpulkan di dalam kelas, diberi pengetahuan sastra yang sesuai dengan masing-masing sesi tersebut di atas. Dari sini, pengetahuan sastra anak dapat diperluas ke teori dan sejarah sastra yang diperlukan.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages - Menu

Pages - Menu

Translate

Followers

Cari Blog Ini