PEMBINAAN
KARAKTER ANAK SEJAK USIA DINI BERBASIS SASTRA ANAK
1.
Pembinaan Karakter Siswa dengan Pengajaran
Sastra
Kata kunci terpenting dalam prasaran ini adalah karakter – kata serapan
dari bahasa Inggris, character, yang belum dibakukan oleh Pusat Bahasa dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yang ada dalam KBBI hanya padanannya,
yakni watak, yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi
segenap pikiran dan tingkah lakunya. Padanan dari watak, menurut KBBI, adalah
budi pekerti dan tabiat. Kata karakter justru diakomodasi oleh Leksikon
Sastra Indonesia , dan dimaknai sebagai watak atau sifat-sifat kejiwaan
(akhlak, budi pekerti, tabiat, etos) yang membedakan seseorang dengan orang
lain.
Karakter atau watak seseorang, selain bawaan sejak lahir (genetik),
juga terbentuk oleh pendidikan, sejak pendidikan di dalam keluarga sampai di
sekolah, serta pengaruh nilai-nilai yang beredar dalam masyarakat dan
lingkungan yang menumbuhkannya. Karena tiap orang memiliki bawaan genetik yang
berbeda, serta tumbuh dalam lingkungan pendidikan dan pergaulan yang relatif
berbeda, maka tumbuh pula karakter-karakter tertentu yang melekat pada
sosok-sosok pribadi yang unik, sejak karakter yang lemah dan buruk (konsumtif,
malas, gampang menyerah, kasar, suka menerabas, pembohong, khianat, dan korup)
sampai karakter yang baik dan unggul (kreatif, rajin, pekerja keras, ulet,
santun, jujur, amanah, adil, dan bertanggung jawab).
Selain karakter individu yang unik dan berbeda-beda itu, ada pula karakter
kolektif yang dibangun oleh nilai-nilai yang bersifat universal seperti
nilai-nilai agama, dan nilai-nilai yang menjadi semacam ”kesepakatan bersama”
dalam hidup bermasyarakat dan diwariskan secara turun-temurun oleh para orang
tua kepada yang lebih muda. Karakter kolektif ini menjadi semacam watak komunal
suatu masyarakat atau bangsa. Misalnya, karakter masyarakat yang religius,
serta karakter masyarakat yang santun, peduli dan suka bergotong-royong
(solider).
Di tengah karakter kolektif itulah watak-watak individu berada dan saling
berinteraksi serta saling mempengaruhi, baik antar individu maupun dengan
karakter kolektif. Jika karakter individu yang baik dan unggul dominan,
dan kooperatif terhadap karakter koletif yang positif, maka akan terjadi
harmoni yang dinamis di dalam masyarakat. Tetapi, ketika karakter individu yang
buruk menang, dan abai terhadap karakter kolektif, maka akan terjadi
disharmoni, pelanggaran terhadap nilai-nilai dan hukum, atau bahkan kekacauan
nilai dan chaos.
Jika karakter individu yang buruk itu terbawa secara dominan ke dalam
wilayah politik dan kekuasaan, maka yang muncul adalah pemerintahan yang korup
dan tidak amanah, merajalelanya mafia hukum dan pajak, serta penjungkirbalikan
kebenaran yang menempatkan kepentingan kelompok dan kekuasaan sebagai
segalanya. Ketika wibawa pemerintah pudar karena tidak dapat bersikap
tegas, dan apalagi terindikasi terlibat suatu kasus, maka kekacauan nilai akan
semakin parah. Dan, jika suatu era sudah menunjukkan tanda-tanda sebagai ”zaman
edan” seperti pernah diramalkan oleh Ranggawarsita, maka suatu
bangsa tinggal menunggu keterpurukannya. Semoga saja ini tidak terjadi pada
bangsa Indonesia, meskipun maraknya berbagai kasus mafia hukum dan kekerasan
politik dewasa ini sudah menunjukkan tanda-tanda zaman gila.
2.
Membentuk karakter siswa
Siswa adalah generasi muda, generasi
penerus, yang akan menjadi pemilik masa depan bangsa. Akan seperti apa wajah
bangsa Indonesia di masa depan sangat tergantung pada bagaimana kita membentuk
karakter siswa sejak sekarang. Ketika kita seperti kehilangan harapan pada para
elit politik dan pemimpin bangsa (penguasa) saat ini, maka harapan kita tinggal
bergantung pada para pemilik masa depan itu. Karena itu, membangun karakter
siswa sejak sekarang menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru dan orang
tua) yang amat penting. Pengajaran di sekolah, termasuk pengajaran
sastra, menjadi tumpuan yang sangat vital. Jika kita gagal membentuk
karakter yang positif dan unggul pada diri siswa, bisa-bisa masa depan bangsa
ini akan makin terpuruk, kehilangan harapan, atau setidaknya akan kehilangan
kepribadian dan gampang dijajah serta ”diperbudak” oleh bangsa lain yang lebih
adidaya.
Pengajaran sastra diyakini dapat
membantu proses pembentukan karakter siswa, karena di dalam karya sastra
terkandung nilai-nilai positif, sejak nilai-nilai budaya, sosial, moral,
kemanusiaan, hingga agama. Karena potensi nilainya itu kaum romantik meyakini
bahwa karya sastra mengandung pesan kebenaran yang setara dengan kitab suci.
Setidaknya, filosof Aristoteles menyejajarkan sastra, khususnya puisi, dengan
filsafat (konsep tentang kebijaksanaan hidup). Bahkan dia menganggap sastra
lebih filosofis dibanding sejarah. Sebab, sejarah hanya mentatat kejadian atau
peristiwa terpenting yang kasat mata dan berpusat pada kekuasaan. Sedangkan
sastra dapat mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa, termasuk
tersembunyi di dalam batin manusia (para pelaku sejarah), sekaligus ”meramal”
apa yang bakal terjadi di masa depan. Tentang
potensi sastra itu, kaum pragmatik -- yang cenderung memandang karya sastra
dari sisi manfaat non-literernya – meyakini bahwa karya sastra
memiliki potensi untuk menjadi sumber nilai ataupun sumber inspirasi
untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan kaum terpelajar. Kalangan
pragmatik berkeyanikan bahwa karya sastra memang dapat memberikan
pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang
langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya,
membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran
dan perasaan tiap pembacanya.
Sebenarnya, apapun orientasi
penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang
menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk
mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi
peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Karya sastra yang melukiskan
keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk
menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang
bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran
pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan
kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama.
Bahkan, ada pendapat bahwa para novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang
sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karena, novelis mampu mengungkapkan
kehidupan batin tokoh-tokoh novelnya sampai sedetil dan sedalam-dalamnya,
termasuk kearifan sikap dan pemikirannya. Dengan
begitu, karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri (batin)
pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu sumber
inspirasi, pencerahan, sekaligus agen perubahan sosial. Di sini pula pentingnya
kaum terpelajar membaca dan mengapresiasi karya-karya sastra yang mencerahkan
guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih
besar dalam ikut membawa bangsanya ke arah keadaan sosial, politik, dan budaya,
yang lebih baik. Jika disarikan dan disederhanakan,
maka karya sastra setidaknya memiliki 10 fungsi bagi kehidupan. Pertama, fungsi
cultural, karena karya sastra dapat menjadi media pewarisan nilai-nilai dan
kekayaan budaya masyarakat sekaligus meninggikan harkat kebudayaan suatu
bangsa. Kedua, fungsi estetis karena karya satra memiliki unsur-unsur dan
nilai-nilai keindahan yang dapat meningkatkan rasa keindahan (sence of
aesthetic) pembacanya. Ketiga, fungsi didaktis karena karya sastra mengandung
potensi yang bersifat mendidik dan mengandung unsur kebaikan serta kebenaran.
Keempat, fungsi moralitas karena karya sastra mengandung nilai-nilai moral yang
menjelaskan tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah.
Kelima, fungsi religius karena karya
sastra mampu memberikan pesan-pesan religius kepada para pembacanya.
Keenam,fungsi inspiratif, karena karya sastra yang baik dapat menjadi
sumber inspirasi bagi pembacanya untuk menghasilkan karya baru, pemikiran baru,
dan bahkan mendorong proses perubahan. Ketujuh, fungsi psikologis,
karena karya sastra dapat membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan
emosi. Karya sastra dapat menjadi media pelepasan atau katarsis. Kedelapan,
fungsi humanis, karena karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan
kepada pembacanya. Kesembilan, fungsi penyadaran dan pencerahan, karena karya
sastra dapat menjadi media penyadaran dan pencerahan hati nurani dan
intelektualitas pembacanya. Dan, kesepuluh, fungsi rekreatif, karena karya
sastra mengandung unsur-unsur yang menyenangkan pembacanya. Dengan
mewariskan fungsi-fungsi sastra itu kepada siswa melalui pengajaran sastra,
maka pengajaran sastra akan ikut berperan dalam membentuk karakter yang
positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan
maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat
baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif
terhadap karya sastra.
3.
Karakteristik Anak Usia 4-6 Tahun
Pendidikan anak usia dini menurut UU no. 20
tahun 2003 adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pengertian ini mengandung arti bahwa pendidikan merupakan
bentuk kegiatan yang direncanakan dan diprogram dengan sedemikian rupa agar
mampu mengembangkan semua aspek perkembangan anak. Hal ini mengacu pada dasar
penelitian neorologis yang memaparkan potensi saraf untuk berkembang pada usia
tersebut. Dengan demikian pendidikan karakter sejak dini merupakan salah satu
upaya untuk memaksimalkan potensi anak. Dalam kaitannya dengan perkembangan
anak, untuk merancang sebuah program, pendidik harus memahami terlebih dahulu
potensi rata-rata yang dimiliki anak pada setiap aspek. Hal ini bertujuan untuk
membuat program yang tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan anak. Dalam
penelitian ini, pendidik mencoba merancang kegiatan bercerita dengan cerita-cerita
rakyat untuk mengenalkan karakter pada anak usia dini. Perkembangan kognitif
anak usia 4-6 tahun menurut Piaget (Jamaris: 2011: 37-38) masuk dalam tahap berpikir
praoperasional konkrit. Pada usia ini anak masuk dalam tahap berpikir intuitif yaitu fase dimana anak memiliki banyak
pengetahuan namun tidak tahu bagaimana anak
mengetahui hal tersebut. Tahap ini mencirikan rasa ingin tahu anak sangatbesar
terhadap sesuatu, banyak mengajukan pertanyaan, mampu untuk mengetahui
alasan-alasan logis yang primitif, belum dapat memahami prinsip konservasi, dan
anak belajar melalui contoh-contoh yang
dilihat ketika bermain.
Perkembangan sosial anak usia taman
kanak-kanak dalam Sujiono (2005: 81) yaitu kemampuan anak untuk bebas bicara
pada diri sendiri, orang lain dan mainannya; berbicara lancar; bermain dalam
kelompok; mulai menyenangi kisah seseorang/tokoh dalam film atau cerita.
Penanaman nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat pada anak dilalui
dalam proses sebagai berikut yaitu; 1) tahap imitasi, tahap peniruan anak
terhadap tingkah laku atau sikap dan cara pandang orang dewasa (model); 2)
tahap identifikasi, tahap menyamakan tingkah laku sosial orang yang berada di
sekitarnya sesuai perannya kelak di masyarakat; 3) tahap internalisasi, tahap
penanaman dan penyerapan nilai-nilai yang relatif menetap sehingga menjadi
nilai yang tertanam dan menjadi milik orang tersebut. Perkembangan bahasa anak
meliputi empat aspek pengembangan yaitu aspek mendengarkan/menyimak,
berbicara, membaca dan menulis. Keempat aspek ini berkembang berkelanjutan dengan pengertian bahwa aspek membaca dan
menulis terbentuk dari kemampuan aspek menyimak dan berbicara lebih dahulu
(bahasa oral).
Perkembangan moral anak oleh Kohlberg (Crain:
2007: 231-239) dibagi atas tiga tingkatan yaitu moralitas prakonvensional,
konvensional, dan pascakonvensional. Moralitas prakonvensional terbagi atas 2
tahap yaitu tahap pertama, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman.
Moralitas dari suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisik. Tahap kedua,
anak menyesuaikan terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan.
Moralitas konvensional dibangun atas dasar persesuaian dengan peraturan untuk
mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan baik
dengan orang lain. Tahap ini dibagi atas dua tahap yaitu tahap penyesuaian
dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk
mempertahankan hubungan baik dengan mereka. Tahap kedua, anak harus berbuat
sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat diterima dan
terhindar dri ketidaksetujuan sosial. Moralitas terakhir pascakonvensional
yaitu moralitas yang sesungguhnya, tidak perlu disuruh merupakan kesadaran dari diri orang
tersebut. Tahap ini pula terbagi atas dua tahap yaitu tahap dimana seseorang perlu keluwesan dan adanya modifikasi dan
perubahan standar moral jika dapat menguntungkan
kelompok secara keseluruhan. Tahap selanjutnya adalah tahap seseorang
menyesuaikan diri dengan standar sosial dan cita-cita internal terutama untuk
menghindarkan rasa tidak puas dengan diri
sendiri.
4.
Pendidikan Karakter
Karakter dari bahasa yunani yang berart i “to
mark”. Istilah ini fokus pada t indakan atau tingkah laku. Menurut Muslich
(2011: 71) karakter memiliki dua pengertian yaitu menunjukkan bagaimana orang bertingkah
laku dan berkaitan dengan personaliti. Berkaitandengan seorang yang bertingkah
laku, jika seseorang bertingkah laku baik seperti suka menolong, jujur,
menunjukkan karakter mulia dan ini berlaku pula sebaliknya. Karakter berkaitan
dengan personaliti maksudnya adalah seseorang yang disebut berkarakter jika
tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
karakter terkait dengan watak. Watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang
mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; dan tabiat. Dengan
demikian, karakter adalah bentuk tingkah laku yang ditunjukkan sesuai dengan
kaidah moral dan budi pekerti.
Likona dalam Muslich (2011: 75) menekankan
tiga komponen karakter yang baik dan harus ditanamkan sejak dini yaitu moral
knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling(perasaan tentang
moral), dan moral action (perbuatan moral). Tiga komponen ini sangat
diperlukan untuk dapat memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai
kebijakan. Hal ini menjawab kebutuhan bahwa pendidikan moral dalam pembelajaran
tidak hanya diberikan dalam bentuk hafalan (kognitif), namun lebih pada
pengembangan moral tersebut yang terinternalisasi dalam diri manusia. Hal ini
sesuai pula dengan pengertian pendidikan karakter dalam PP No.58 yaitu
pendidikan yang melibatkan penanaman pengetahuan,kecintaan dan penanaman
perilaku kebaikan yang menjadi sebuah pola/kebiasaanBerdasarkan pengertian
tersebut maka pendidikan karakter adalah pendidikan yangmembentuk tingkah laku
seseorang agar sesuai dengan kaidah moral baik dalam segi kognitif, afektif dan
psikomotor.
Pembentukan karakter pada anak usia dini
dilakukan melalui pembiasaan. Adapun tujuannya adalah agar anak mempraktekkan
langsung nilai-nilai tersebut dan terbiasa untuk melakukan hal-hal yang baik
dengan harapan nilai tersebut dapat terinternalisasi dalam kehidupan anak.
Penanaman nilai pendidikan karakter pada anak usia dini sesuai PP No.58
suplemen kurikulum mencakup empat aspek yaitu aspek spiritual, aspek personal,
aspek sosial dan aspek lingkungan.
Disiplin adalah nilai yang berkaitan dengan
ketertiban dan keteraturan. Contoh dari penanaman sikap disiplin yaitu membantu
anak untuk mengatur waktu bermain, datang tepat waktu. Kejujuran adalah keadaan
yang terkait dengan ketulusan dan kelurusan hati untuk berbuat benar. Adapun
contoh penanaman nilai ini yaitu dapat ditanamkan pendidik pada anak dengan
cara memberi fasilitas kotak khusus untuk temuan. Setiap anak yang menemukan
sesuatu yang bukan miliknya dapat meletakkan barang tersebut dalam kotak temuan
sehingga setiap teman yang merasa kehilangan dapat mencari barang yang hilang tersebut
dalam kotak temuan. Jika di rumah nilai kejujuran dapat ditanamkan dengan
meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita anak dan mempercayai cerita tersebut
sebagai sebuah kebenaran sambil meyakinkan anak bahwa cerita tersebut memang
benar.
Percaya diri adalah sikap yang menunjukkan
bahwa anak mampu memahami diri dan nilai harga diri. Adapun contoh penanaman
nilai ini yaitu dengan cara memberikan pujian atau penguatan tentang semua apa
yang dimiliki oleh anak sehingga anak mampu menerima diri secara positif,
misalnya, mengatakan kamu pasti bisa, kamu pintar sekali, coba lagi, wow…hasil
karyamu luar biasa. Mandiri adalah perilaku yang tidak bergantung pada orang lain.
Penanaman ini bertujuan untuk membiasakan anak menentukan, melakukan, memenuhi kebutuhan
sendiri tanpa bantuan atau dengan bantuan yang seperlunya. Adapun contoh penanaman
nilai ini yaitu memberi anak kesempatan untuk mencoba mengerjakan sesuatu
sendiri, misalnya memakai pakaian sendiri, makan sendiri, memakai sepatu
sendiri, mengerjakan tugas sendiri.
Kreatif adalah kemampuan seseorang untuk
melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik
dalam bentuk karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang
belum pernah ada sebelumnya dengan menekankan kemampuan yang berkaitan dengan
kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab masalah, dan
cerminan kemampuan operasional anak kreatif.
Kerja keras adalah nilai yang berkaitan
dengan perilaku pantang menyerah yaitu mengerjakan sesuatu hingga selesai
dengan gembira. Rendah hati adalah mencerminkan kebesaran jiwa seseorang dan
sikap tidak sombong dan bersedia untuk mengalami kehebatan orang lain.
Tolong menolong, kerjasama dan gotong royong
adalah merupakan bentuk kemampuan sosialisasi dan kematangan emosi. Peduli
lingkungan merupakan sikap merawat, menjaga dan respon terhadap lingkungan.
Nilai ini dapat dikembangkan dengan membuang sampah pada tempatnya, merawat
tanaman dan binatang, membersihkan pekarangan dan kelas, merapikan tempat
mainan, memanfaatkan barang bekas sebagai media pembelajaran/ alat untuk
bermain. Cinta tanah air dan bangsa merupakan sikap rela berkerban dan
menghargai hasil buatan bangsa. Penanaman nilai ini dengan mengenalkan
produk-produk Indonesia dalam berbagai bidang, mengenalkan cerita-cerita
kepahlawanan, cerita rakyat, dan berbagai hasil seni dan budaya yang dimiliki
bangsa, berkunjung ke beberapa tempat wisata bersejarah dan lain sebagainya.
5.
10 Fungsi Karya Sastra Bagi Kehidupan.
Pertama, fungsi cultural, karena karya sastra dapat
menjadi media pewarisan nilai-nilai dan kekayaan budaya masyarakat sekaligus
meninggikan harkat kebudayaan suatu bangsa.
Kedua, fungsi estetis karena karya satra memiliki
unsur-unsur dan nilai-nilai keindahan yang dapat meningkatkan rasa keindahan
(sence of aesthetic) pembacanya.
Ketiga, fungsi didaktis karena karya sastra mengandung
potensi yang bersifat mendidik dan mengandung unsur kebaikan serta kebenaran.
Keempat, fungsi moralitas karena karya sastra
mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan tentang yang baik dan yang buruk
serta yang benar dan yang salah.
Kelima, fungsi religius karena karya sastra mampu
memberikan pesan-pesan religius kepada para pembacanya.
Keenam,fungsi inspiratif, karena karya sastra
yang baik dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya untuk menghasilkan
karya baru, pemikiran baru, dan bahkan mendorong proses perubahan.
Ketujuh, fungsi psikologis, karena karya sastra
dapat membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Karya sastra dapat
menjadi media pelepasan atau katarsis.
Kedelapan, fungsi humanis, karena karya sastra dapat
menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan kepada pembacanya.
Kesembilan, fungsi penyadaran dan pencerahan, karena
karya sastra dapat menjadi media penyadaran dan pencerahan hati nurani dan intelektualitas
pembacanya.
kesepuluh, fungsi rekreatif, karena karya sastra
mengandung unsur-unsur yang menyenangkan pembacanya.
Dengan mewariskan fungsi-fungsi sastra itu kepada
siswa melalui pengajaran sastra, maka pengajaran sastra akan ikut berperan
dalam membentuk karakter yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan
karakter siswa itu tidak akan maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran
sastra gagal menumbuhkan minat baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap
tidak memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra.
6.
Membangun Sikap Apresiatif
Membangun
sikap apresiatif siswa pada sastra pada dasarnya adalah membangun minat atau
rasa cinta siswa pada karya sastra, dan inilah tujuan terpenting pengajaran
sastra. Apresiasi -- berasal dari bahasa Inggris appreciation – adalah
penghargaan yang didasarkan pada pemahaman. Menurut Leksikon Sastra
Indonesia, apresiasi sastra adalah kemampuan untuk memahami dan
menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra. Dengan demikian,
di dalam kegiatan apresiasi sastra diperlukan kemampuan untuk menikmati,
menilai, menghargai, dan mencintai karya sastra.
Apresiasi
sastra akan berjalan baik jika didasari oleh minat yang tinggi pada karya
sastra. Minat, menurut KBBI Daring , adalah kecenderungan hati yang tinggi atau
gairah terhadap sesuatu. Maka, ‘minat pada sastra’ dapat diartikan sebagai
kecenderungan hati yang tinggi (gairah) pada sastra, yakni seseorang yang
memiliki keinginan kuat untuk menggauli sastra, baik mencipta maupun sekadar
menikmatinya sebagai rekreasi batin. Seseorang yang meminati sastra akan merasa
hampa jika dalam waktu tertentu tidak bersentuhan dengan sastra, dan karena itu
ia akan selalu rindu untuk membaca karya sastra.
Sebaliknya,
seseorang yang tidak meminati sastra, tidak akan terdorong untuk membaca, dan
apalagi mencipta, karya sastra. Orang yang demikian, umumnya memiliki apresiasi
sastra yang rendah, bahkan banyak yang tidak memiliki apresiasi sama sekali.
Jika karakter yang demikian ada pada siswa, atau sebagian besar siswa, maka
kita akan berhadapan dengan para siswa yang sulit untuk diajak mengapresiasi
karya sastra, apalagi belajar menciptanya Rendahnya minat siswa pada sastra
itulah sebenarnya tantangan utama pengajaran sastra di sekolah, tantangan yang
pertama-tama dihadapi oleh guru sastra, selain hambatan kurikulum dan sistem
pengajaran sastra, kurangnya buku-buku sastra di perpustakaan sekolah,
rendahnya kualitas buku pelajaran sastra, dan rendahnya kualitas sang guru
sendiri.
7.
Cara
Mengajar Yang Konvensional Di Depan Kelas
Cara-Cara
Sebagai Berikut Dapat Dipertimbangkan:
a) Mengajak
siswa ke luar kelas, ke taman atau kebun terdekat. Cara ini dapat dicoba untuk
mengajar menulis puisi. Dalam belajar menulis puisi, para siswa dapat
diperkenalkan dengan berbagai fenomena alam yang puitis, seperti gerak
daun jatuh, desir suara angin, bunga yang mekar, burung yang bermain-main
di dahan, atau kepak sayap kupu-kupu yang berpindah-pindah dari satu bunga ke
bunga lainnya. Siswa diminta untk menuliskan fenomena alam itu dengan baris-baris
kalimat yang puitis.
b) Belajar di
luar ruang juga dapat dipilih untuk mengajarkan menulis cerpen, misalnya ke
kantin, taman, kebun, atau pinggir jalan. Siswa dapat diminta mengamati dan
memilih satu potret kehidupan yang dilihatnya. Misalnya, seorang anak penyemir
sepatu, lalu diminta membayangkan anak itu rajin bekerja untuk mengumpulkan uang
guna pengobatan ibunya yang sakit di rumah. Nah, siswa diminta mengembangkan
imajinasinya ini menjadi sebuah cerita pendek.
c) Dalam
mengajarkan apresiasi sastra, misalnya membahas puisi, cerpen atau novel, bias
saja siswa diajak ke suatu tempat untuk mendiskusikannya secara santai dan
terbuka. Untuk cerpen dan novel, tentu siswa perlu membacanya dulu di rumah.
Jika ingin tetap di dalam kelas, tentu guru perlu menciptakan suasana diskusi
yang menyenangkan dan membuat anak berani berbicara.
d) Dalam
mengajarkan membaca puisi, berbagai cara dapat dipilih. Misalnya, menayangkan
dulu video penyair terkenal sedang membaca puisi, menghadirkan deklamator
terkenal ke depan kelas, atau menyiasatinya dengan berbagai model penyajian
puisi yang langsung melibatkan anak, seperti membaca puisi secara kolektif dan
musikalisasi puisi, yang dapat membuat anak gembira.
e) Setelah
sesi-sesi di atas masing-masing dilalui, barulah siswa dikumpulkan di dalam
kelas, diberi pengetahuan sastra yang sesuai dengan masing-masing sesi tersebut
di atas. Dari sini, pengetahuan sastra anak dapat diperluas ke teori dan
sejarah sastra yang diperlukan.
0 komentar:
Posting Komentar